Inilah Sepenggal Kisah Pulau Dana yang Terlupakan - Inilah.com

"Dari Sabang sampai Merauke, dari Mianga sampai Pulau Rote.." Demikian bunyi salah satu jingle produk mi instan. Dari sebaris jingle tersebut, si pembuat lirik mendiskripsikan Indonesia dari ujung timur ke ujung barat, dan ujung utara ke ujung selatan. Tapi tahukah anda, ternyata Pulau Rote, bukanlah pulau paling selatan di Indonesia?

Di samping Pulau Rote, ada satu lagi pulau kecil terluar yang hanya dihuni oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai penjaga garda terluar di sisi selatan. Di tempat ini tak ada penghuni lain selain kawanan kijang dan para penjaga keamanan tersebut. Meski tak berpenghuni, bukan berarti Pulau Dana tak layak dihuni.

Dengan luas sekitar 2 Km persegi, pulau indah dengan pantai berpasir putih ini memiliki hutan dan danau air tawar yang dikenal dengan nama danau merah. Bukan hanya di danau, bahkan di kawasan pangkalan militer yang dihuni TNI, dengan jarak sekitar 200 M dari bibir pantai, kita dapat menemukan sumber air tawar yang muncul dari tanah galian sedalam sekitar 1,5 M. Bukan hanya itu, selain sumberdaya hayati di dalam hutan kita juga dapat menemukan kawanan rusa timor yang kini keberadaannya dilindungi oleh pemerintah Nusa Tenggara Timur (NTT).

Oleh karena itu, bukan mustahil, jika konon dahulu kala pulau ini sempat berpenghuni. Namun, sejak kejadian pembunuhan massal yang hanya menyisakan tujuh orang yang selamat dari seluruh penduduk di pulau tersebut, tak ada lagi yang tinggal di Pulau Dana. Saat ini, hanya sekitar 30-an anggota TNI yang menetap disana. Kejayaan kerajaan yang sempat berdiri disana hanya tinggal kisah semata.

Berdasarkan penuturan salah seorang keturunan Raja Thie, ber-fam (keluarga) Messakh, kisah habisnya penduduk Pulau Dana tak lepas dari keberadaan Pulau Rote. Kala itu (pada masa penjajahan Belanda) konon, Pulau Dana dan Rote dipimpin oleh sistem kerajaan. Pulau Rote, mempunyai tiga kerajaan yang baik raja maupun pengikutnya berasal dari penduduk asli, yakni Kerajaan Thie, Termanu, dan Ba’a.

Sedang di Pulau Dana, berdiam sebuah kerajaan yang baik raja maupun penduduknya merupakan pendatang dari luar NTT (diduga dari Makassar) yang kebetulan singgah saat berlayar, kemudian terpukau kekayaan Pulau Dana dan menemukan air tawar, yang akhirnya menetap di pulau ini.

Suatu malam, ada beberapa nelayan Rote yang pergi mencari ikan hingga terdampar di Pulau Dana. Saat itu konon malam minggu. Malam, dimana penduduk Pulau Dana tengah mengadakan pesta rakyat dengan berdansa atau menari bersama.

Beberapa nelayan Rote tersebut lalu datang menghampiri. Lantaran terpukau kecantikan perempuan Dana, nelayan tersebut menggoda salah seorang di antaranya. Tak ayal, hal ini membuat penduduk lain marah. Nelayan-nelayan tersebut lalu dihabisi oleh penduduk Dana.

Waktu berlalu, hari berganti. Di Rote sendiri, ternyata seorang ibu hamil tengah menunggu suaminya pulang berlayar, namun si suami tak kunjung kembali. Hingga akhirnya si anak lahir dan beranjak dewasa.

Ketika si anak kecil hingga beranjak remaja, si anak selalu bertanya kepada ibunya, kemana ayahnya pergi. Mengapa tak kunjung kembali. Dan ibu selalu menunjuk ke laut, ke arah Pulau Dana, arah yang dituju suaminya untuk berlayar mencari ikan.

Saat si anak beranjak remaja, Raja Messakhâ€"raja Kerajaan Thie-menggelar sebuah pesta besar. Ia mengundang seluruh raja dan penduduk Pulau Rote dan pulau-pulau berpenghuni di sekitarnya. Raja Dana dan penduduknya pun datang berkunjung.

Tak disangka, dalam sebuah jamuan, si istri dari nelayan yang terbunuh di Pulau Dana menemui seorang penduduk Dana yang menggunakan ikat pinggang suaminya di pesta tersebut. Ikat pinggang ini terbuat dari kulit kerbau dengan disain khusus, yang ia yakini hanya milik suaminya. Penuh sesak akan rasa rindu dan penasaran atas perginya si suami tanpa kabar, si perempuan itu akhirnya datang menghampiri laki-laki tersebut dan menanyakan dari mana asal ikat pinggang yang dikenakannya.

Benar saja, rasa penasaran perempuan ini menguap begitu saja berganti dendam yang bergejolak setelah mendengar bahwa suaminya tewas dibunuh. Ia pun menceritakan hal tersebut kepada sang anak. Si anak yang juga sangat merindukan ayahnya geram. Ia mendesak lelaki berikat pinggang tersebut untuk menceritakan kisah selengkapnya, dan berjanji akan membebaskan si pencerita beserta anak keturunannya.

Waktu berselang. Pesta telah berlalu. Semua raja dan pengikutnya telah kembali ke tempat masing-masing. Si anak yang diselimuti dendam, bertekar menuntut balas. Di asahnya parang berkali-kali hingga tajam-setajamnya. Setelah siap pergilah ia ke Pulau Dana.

Sesampainya di pulau ini, ia menyeret kerbau ke arah danau yang dikelilingin pagar batu. Di pinggir danau tersebut, lalu ia letakkan kerbau sebagai alat penarik para penduduk Pulau Dana. Ia sendiri berdiri di balik gerbang, bersiap membabat setiap leher yang datang.

Insiden berdarah pun terjadi. Semua penduduk yang tertarik lantaran tidak pernah melihat kerbau datang ke danau dan tewas satu-persatu. Semua penduduk habis, hingga hanya menyisakan tujuh orang yang bersembunyi di atas beringin. Ketujuh orang ini adalah seorang pencerita (si pemakai sabuk kerbau) dan keluarganya.

Usai kejadian, ketujuh orang tersebut lalu terkenal dengan sebutan fam (keluarga) Nutu Hitu, yang artinya tujuh beringin. Keluarga ini lalu pergi hijrah ke Rote dan diangkat anak oleh Raja Thie. Pulau Dana pun tak lagi berpenghuni. Hingga saat ini, Fam Nutu Hitu dan Fam Messakh hidup bersaudara. Keduanya tidak bisa kawin karena telah dianggap satu keturunan.

Pulau Dana sendiri masih menyimpan kekayaan alamnya. Di dekat danau tempat bekas kerajaan, konon masih banyak tersisa benda-benda bersejarah, seperti kulit kerang berukuran raksasa bekas bak mandi putri raja, berbagai sisa permainan anak-anak, tempat duduk batu, dan lain-lain. Kijang-kijang pun masih hidup dan terus berkembangbiak meski jumlahnya terbatas. Sayang, pemerintah daerah belum memberikan perhatian khusus pada pulau ini. [yeh]

http://nasional.inilah.com/read/detail/1991630/inilah-sepenggal-kisah-pulau-dana-yang-terlupakan

Share to

Facebook Google+ Twitter Digg

0 komentar: